Amplifier Part-3 (TAMAT)

Amplifier Part-1

Amplifier Part-2

Koki ? Ya juru masak. Tanpa keberadaan mereka gak akan pernah ada namanya restoran, rumah makan, cafe, hotel atau distro terkenal oleh karena cita rasa makanannya. Setidaknya anda di rumah memiliki satu orang juru masak bukan ? istri anda, atau suami anda – bagi yang sudah punya pasangan – atau pembantu anda ? atau jangan-jangan anda sendiri adalah seorang piawai juru masak ?

Juru masak atau chief biasanya identik dengan seorang pria, pria dianggap memiliki kestabilan emosi yang lebih terkontrol dibanding kaum hawa. Ini bukan dikotomi masalah gender tapi barangkali riset psikologi memang begitu. Pria yang terkontrol emosinya akan membuat setiap jenis masakan juga tetap terjaga cita rasanya, racikan asin, manis, asam, pedas dan sebagainya akan tetap sesuai komposisi dan tidak berubah-rubah – meskipun menu yang sama berulang kali dibuat – dikarenakan bad mood, atau sedang marah atau lagi happy dan sebagainya, bisa jadi kondisinya ini bertolak belakang bila kejadian yang sama menimpa kaum hawa. Bisa dibayangkan bila masakan akan menjadi terasa terlalu asin misalnya gara-gara doi sedang ngambek, atau rasa gak karuan lainnya dikarenakan doi sedang bad mood ?.

Ada ‘juru masak lain’ yang tak kalah pentingnya dari seorang chief.

Dalam dunia audio atau audio system, dikenal suatu profesi sound engineer atau bahasa gampangnya ‘peracik suara’ seperti mengatur volume, vocal, instrument, efek dan sebagainya.   Keberadaan mereka sangat vital terutama saat pembuatan ‘master copy’ ketika proses perekaman atau recording. Perusahaan label yang terhormat biasanya menyantumkan nama mereka pada sampul atau halaman album artis yang dipasarkan atau diproduserinya. Dari master copy inilah (biasanya dalam format piringan hitam atau pita) lalu didupikasi menjadi produk turunan lainnya secara masal dalam berbagai format seperti cassette, CD/DVD, Vinyl dan sebagainya , untuk akhirnya dijual dan beredar di masyarakat.

Jadi kalau kita mengoprek amplifier dengan cara mengatur ‘tone control’ seperti bass, midle dan treble serta mengeser-geser posisi balance kanan-kiri, itu sebenarnya bukan pekerjaan kita lagi. Semua itu sudah dilakukan saat proses recording tadi di atas oleh seorang sound engineer. Amplifier tinggal nerusin ke speaker, dan kita tinggal mendengarkan hasilnya. Beres. Tidak perlu lagi utak-atik lainnya kecuali volume.  Bila media yang ‘direplay’ hasil dari proses rekaman yang bagus ya hasilnya bagus, bila media  yang ‘direplay’ berasal dari hasil proses rekaman yang jelek ya hasilnya jelek !. Amplifier itu harus ‘jujur’. Amplifier yang ‘bener’ (subjective of course) cuma punya tombol ‘on/off’ untuk menghidupkan atau mematikan daya listrik, dan pengatur ‘master volume’ untuk mengatur besar kecilnya suara yang diumpan ke speaker. Titik.

Turntable atau ‘player meja putar’ memiliki keunikan tersendiri. Hampir semua proses produksi suaranya diproses melalui ‘sistem mekanis’ atau analog. Sinyal suara analog ini berasal dari kontur permukaan plate hasil recording tadi, yang bersentuhan dengan semacam cartridge yang sangat sensitive. Begitu kecilnya sinyal listrik yang dihasilkan secara mekanis dari cartridge ini sehingga kabel sinyal dari cartridge ini umumnya berupa kabel halus tanpa sambungan atau terminal koneksi tambahan. Anda memerlukan semacam pre-amp ‘khusus’ sebelum meneruskannya ke amplifier. Beberapa amplifier jaman dulu melengkapi input phono pada amplifiernya sebagai ‘teminal input’ dari player turntable atau phonograph, hal yang agak sulit kita temui pada produk amplifier sekarang. Para audiophile sejati memadukan sistem ini dengan amplifier hi-end berbahan ‘tabung’. Saya ga bahas.

Speaker. Akhirnya kita sampai ke bagian terakhir dari postingan ‘trilogy amplifier’ ini. Umumnya sebuah speaker atau ‘pengeras suara’ memiliki data persyaratan kelistrikan tersendiri, disamping hal-hal lain seperti design, bahan atau jenis material yang dipergunakan dan sebagainya. Dual hal yang utama yaitu Impedance dan Watts.

Kita tahu besaran watt menandakan kapasitas maksimum daya dari amplifier yang mampu dihandle oleh speaker tersebut, misalnya 20W, 100W dan seterusnya. Tentunya kapasitas ‘watt’ ini harus disesuaikan dengan amplifiernya. Bila anda memiliki amplifier dengan daya maksimal 40W, umpanlah dengan speaker yang memiliki ‘rating’ daya yang memiliki ‘sedikit’ lebih besar  dari 40W, katakan 60W. Kenapa ? Pertama safety, speaker dengan kemampuan menerima daya yang lebih besar dari amplifier tentunya akan ‘aman’ saat beban maksimal atau volume maksimal dibebankan amplifier ke speaker tersebut. Secara listrik, speaker tersebut tidak akan ‘terbakar’ atau ‘jebol’. Kedua, sebaliknya, bila speaker memiliki kemampuan daya maksimal yang ‘terlalu jauh’ melebihi daya maksimal amplifier, misalnya amplifier 20W diumpankan dengan speaker 1000W, maka amplifier akan kesulitan ‘mendrive’ dayanya ke speaker tersebut. Amplifier akan ‘ter-engah-engah’ mengumpannya. Toh rasanya kita jarang nyetel ampli sampai ‘pool’ atau volume maksimal bukan ? Bagi saya, posisi volume 30% adalah yang ‘ideal’ untuk meng-operasikan volume amplifier ke speaker.

Impedance adalah hal yang ‘lebih sensitive’. Umumnya beberapa jenis speaker memiliki impedance yang telah ditentukan oleh pabrik pembuatnya, misalnya 2 Ohm, 4 Ohm, 8 Ohm, 16 Ohm dan 32 Ohm. Besaran nilai-nilai ini sangat penting ketika kita mendesign sebuah ‘kotak speaker’. Rangkaian speaker dalam kotak speaker biasanya tersusun secara paralel melalui sebuah ‘bridge’ yang terdiri dari ‘speaker utama’ sebagai penghasil frekwensi rendah sampai menegah, dan ‘twitter’ untuk memproduksi frekwensi tinggi. Bila nilai-nilai ini tidak bersesuaian maka akan berpengaruh ‘balik’ terhadap performance amplifier sebagai pengumpannya. Oleh karenanya beberapa amplifier pun mempersyaratkan besaran beban impedance speaker yang sesuai yang akan atau  harus dibebankannya.

TAMAT.

Itulah amplifier versi sebenarnya, ‘sederhana dan indah’

Maaf salah-salah kata.. tapi saya percaya pada seorang ‘koki’ – juru ramu..


 

 

 

 

 

 

 

 

This entry was posted in Entertainment, Hobbies, Music, Opini and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment