Potret Diri

Belajar bahasa sendiri (tulisan kedua)

Industri seni lukis –disebut industri karena seni pada hakekatnya juga bernilai ekonomi- mengenal jenis lukisan atau bentuk reka seni lukis berupa gambaran wajah realis atau surealis atau abstrak yaitu hasil dari sejumlah guratan, goresan dan bentuk lainnya yang merupakan komposisi, gradasi dan spektrum warna yang menghasilkan visual wajah pribadi pelukisnya. Tidak sembarang orang dapat dikatagorikan menghasilkan karya lukis potret diri, sang pelukis layaknya adalah  seorang maestro seni lukis, jika tidak maka karya potret diri tersebut tak akan bernilai apa-apa. Seni visual ini memiliki 2 dimensi, seseorang bisa mengamatinya, menikmatinya, memahaminya lewat penglihatan mata yang sehat serta cadangan estetika yang memadai.

Dari mengamati sebuah karya lukis potret diri, pikiran audiens secara langsung akan terhubung ke ikon pelukisnya, karya-karyanya, nama besarnya, inteletualnya dan segala atribut yang melekat pada diri sang pelukis. Oleh karena itulah sebuah lukisan potret diri begitu berharga.

Cukup mengejutkan seandainya lukisan potret diri ini didapati dari karya maestro lukis yang tidak memiliki penglihatan atau buta.

Kalau kata ‘diri’ diganti dengan kata lain misalnya diganti dengan rangkain kata ‘kelompok orang’ maka kata-kata itu menjadi menjadi ‘potret kelompok orang‘. Kalau ‘kelompok orang’ diganti dengan ‘kita’ maka menjadi ‘potret kita’. Jadi potret kita gambarnya seperti apa ? merak ?, kuning ?, biru ?.. atau hitam ?, putih ?, abu-abu ?.. yang mana ?. Yang jelas berwarna tapi tidak seperti hijau-ungunya lukisan tadi yang gampang ditangkap mata.

Masing-masing diri memiliki derajat narsis ketika melihat potret dirinya sendiri diantara objek-objek lainnya dari sebuah potret secara keseluruhan. Dalam sebuah potret, dirinya pasti akan tampak berbeda dari yang lain, dirinya tampak lebih tampan, lebih cantik. Di luar potret, hal ini bisa didebat oleh diri yang lain yang ada di potret itu. Begitulah potret kita, sangat sulit untuk dipahami –apalagi hanya dilihat dengan bingkai hitam-putih kaca mata-, masing-masing kita memiliki kehendak narsis sendiri hanya saja debat dan tengkarnya terjadi di dalam potret itu sendiri. Jadi potret kita akan tampak berubah-rubah gambarnya, warnanya, setiap waktu. Siapa yang paling narsis, maka akan nampak begitulah gambar potret kita. Potret hegemoni.

Sejarah mencatat sang narsis kecemplung air gara-gara melihat dirinya -di air-  terlalu tampan atau cantik. Bisa dipastikan sang narsis memang kurang penglihatan atau buta..

This entry was posted in Opini and tagged . Bookmark the permalink.

Leave a comment